Journey to the Oz with MEP 2016: Canberra (2)

Sebelumnya Journey to the Oz with MEP 2016: Canberra (1)

b.jpg

welcoming morning

Pemanas 31o yang aku nyalakan membuat tidur kami pulas. Saat kubuka pintu balkon, udara berbeda menyapu pipiku. Dingin sekali. Tapi pemandangan sunrise di balik gunung sangat indah. Bunyi angry bird merah di dahan pohon menamiku bermuroja’ah pagi ini. Ya, hapalanku sudah banyak yang beterbangan jangan biarkan semakin jatuh berguguran karena kemalasanku baca Qur`an, hehehe…

Meskipun kami dijadwalkan sarapan di luar, namun untuk jaga-jaga aku memanaskan nasi goreng yang aku bawa kemaren. Makan sampai kenyang, dandan yang kece. Fix! We are ready for today!

a.jpg

sarapan di pinggir danau

Duduk manis di samping danau Burley Griffin sambil menikmati sepiring banana cake dan hot chocolate… Mujur sekali, cuaca pagi ini sangat cerah. Siapa yang tidak suka dengan suasana seromantis ini???

b.jpg

aa.jpg

kami pun menyempatkan diri melihat monumen James Cook

Ya terus berfoto!! sebelum dibantai habis di sesi diskusi dengan mahasiswa Ph.D program nanti.

Kami segera beranjak menuju kampus the Australian National University (ANU) untuk menemui Pak Greg, bu Virginia, Pak Edward, bu Sally dan para mahasiswa PIES. Di sinilah aku agak banyak dibantai karena kritik-kritik pada pesantren yang aku sampaikan. Ada seorang mahasiswi yang tidak setuju denganku, sementara yang lainnya menyimak.

a.jpg

Pak Greg, Bu Sally, Pak Edward, dan para calon doktor yang sedang mengikuti program PIES

Ya, pesantren adalah aset pendidikan Islam di Indonesia, bahkan pendidikan nasional. Di samping keunggulan-keunggulannya, banyak juga kekurangan yang menjadikan pesantren relatif jalan di tempat. Bahayanya, saat tidak menyadari kekurangannya para pengelola pesantren terlena dengan gelar kesuskesan para alumni pesantren. Benarkah kesuskesan mereka itu murni karena pendidikan pesantren? bisa jadi bukan, meskipun kita juga tidak bisa menafikan sedikit banyaknya kontribusi pendidikan pesantren yang membentuk kepribadian kita. Hanya saja yang aku tekankan, jangan terlena dengan kejayaan masa lalu. Pesantren harus melangkah, bahkan berlari untuk bisa menjadi lembaga pendidikan unggul di Indonesia. Pernah menjadi bagian dari pelaksana lapangan di pesantren membuatku memiliki kesan yang berbeda dibandingkan saat aku hanya menjadi santri.

aa.jpg

Pak Greg Fealy: Supervisor masa depan >_< (di situ kadang saya merasa mungil part 2)

Karena rasa cintaku terhadap pesantren itulah makanya aku berniat meneliti pesantren untuk studi doktoralku. Tentu saja Pak Greg Fealy yang merupakan peneliti Islam di Indonesia, khususnya NU, mengapresiasi harapanku.

Sambil melahap anggur aku terus ngobrol bersama Pak Greg dan Pak Deny. Entah kenapa sejak di sini aku jadi gila makan anggur. mungkin karena rasanya yang lebih manis dari anggur Indonesia, atau karena perutku gak bisa menerima nasi opor yang mereka suguhkan, atau karena topik pembicaraan kita seru sekali -> seputar Ahok dan Ridwan Kamil. kayaknya opsi terkahir ini gak nyambung deh!!

bb.jpg

private tour of Parliament House

Mobil yang kami kendarai pun berhenti di pelataran dekat Parliament Hill yang setiap saat kami lewati. Ya, siang ini kami akan berkeliling belajar tentang politik Australia di Parliament House. Karena di antara kami tidak ada yang terjun ke dalam politik praktis, semangat kami agak menurun siang ini. Bahkan aku berusaha menahan tawaku sekuat tenaga saat bapak-bapak berjuang melawan rasa kantuknya, hahaha…. para dosen pun bisa mengantuk rupanya.

b.jpg

Semangat berbeda kami rasakan saat memasuki National Library of Australia. Perpustakaan terkeren yang pernah kukunjungi. Ditemani bu Tieke, kami melihat langsung ruang penyimpanan arsip di bawah tanah. Jadi perpustakaan ini sistemnya pesan buku kaya di Kolese St. Ignasius, perpustakaan andalan waktu di Jogja. Kita search buku yang kita perlukan, lalu pesan kepada petugas dan mereka akan mengantarkan buku yang kita butuhkan. Kami ternganga-nganga saat tahu betapa lengkapnya koleksi arsip di sini. Bahkan koran-koran jadul tahun 30-an dari Indonesia masih ada, dan lengkap sekali. Katanya, dalam setahun mereka akan menambah sekitar 1 km koleksi buku. Itu pun dana mereka belum terhabiskan. Ajegileee…..

a.jpg

Perpustakaan Nasional Australia

Bu Tieke pun menawarkan kalau kami punya tulisan sendiri atau buku jadul untuk dijual ke perpustaan melalui Kedutaan Australia di Jakarta. Kami akan membantu melestarikan kekayaan intelektual yang ada, begitu ungkap beliau. Pantas saja ilmuwan dari sana bagus-bagus tulisannya. Lah, literaturnya pun selengkap itu. Semangat kami untuk studi di sini pun naik satu level lagi.

aa.jpg

with bu Tieke

Malam yang dingin. Saat aku cek cuaca di hape, waw… 16o. Saking dinginnya tulang keringku sampai sakit. Padahal sudah pakai empat lapis baju, sarung tangan, dan syal. Loncat-loncat tidak lagi membuahkan hasil. Salah satu musuhku memang cuaca dingin! Masuk ke dalam restoran membuat sakit kakiku sedikit mereda, tapi tidak dengan migren. Di ruangan ini kami makan malam dengan Canberra Islamic Centre (CIC), sebuah perkumpulan yang memisahkan diri dari Canberra Mosque. Kantor mereka juga pernah mengalami beberapa kali penyerangan dan vandalisme. Alhasil ruang komputer tidak dapat terselamatkan. Sementara pelakunya, belum diketahui secara pasti. Kasihan sekali…

a.jpg

Dinner with CIC

Saat makan malam, entah karena sakit atau memang sudah capek sekali, aku lebih banyak ngobrol dengan Mas Muhajir soal tema kritik pesantren yang tadi aku lontarkan. “Ada yang terlewat yang tidak kamu katakan, soal banyaknya guru yang ikhlas tanpa dibayar di pesantren.” Betul sekali mas. Kerelaan dan keikhlasan itu tidak juga seharusnya dijadikan alasan untuk mengabdi pada pesantren. Mereka juga butuh kehidupan yang layak. Mereka yang sudah ikhlas dan rela untuk mengabdi adalah aset besar bagi pesantren, maka pesantren jangan membiarkan mereka lari karena terdesak oleh kebutuhan untuk menghidupi keluarga. Hihihi..

Mas Muhajir juga memberitahuku jika di Australia tema LGBTIQ itu relatif dianggap biasa, seperti halnya kita memandang para difabel. Bagi mereka LGBTIQ itu bukan penyakit, hanya kelainan orientasi seksual. Duh…. baru tahu, jadi gak enak juga soalnya waktu di ANU tadi aku sempat menyinggung soal LGBTIQ. Masalahnya di sana ada non-Muslim gitu…. meskipun agama mereka juga banyak yang tidak setuju. Tapi tetap saja aku rada kikuk.

Selama di perjalanan pulang Mas Muhajir mewanti-wanti supaya kita menyiapkan jawaban yang lebih diplomatis dari perdebatan kita siang ini tentu saja disertai pakaian yang lebih formal untuk besok. Emang mau ngapain? Kita mau ketemu DFAT!! kementrian yang jadi bos kita, yang membiayai kita! waw….!

Selanjutnya journey to the Oz with MEP 2016: Canberra (3)