Pacar Keempat: Si Aa Cowok Sunda Sejati
Selepas memutuskan sepihak, ternyata memang aku menemukan seseorang yang jauh lebih dewasa dariku. Dia adalah ayah dari seorang anak berusia 6 tahun (2017). Perbedaan usia kita cukup jauh, sekitar 12 tahun, sebut saja Aa. Masalah dan pekerjaan yang ia geluti membuatnya jauh lebih dewasa dan bijak dari laki-laki pada usianya. Padanya aku merasa memiliki ayah, kakak, guru, dan sahabat baru. Dia selalu mampu menjawab setiap pertanyaan pada keluh kesahku, tentang apa pun!! Dia selalu bisa bersikap bijak mengatasi masalah-masalahku. Padanyalah aku selalu bertanya, what should I do?
Jika ditanya, siapa orang yang paling mempengaruhiku? Jawabannya dia. Dialah yang mengajariku mulai dari cara membalas sms sampai cara berkomunikasi dengan pejabat setingkat menteri, dengannyalah aku berdiskusi soal cara menghadapi anak yang rewel sampai urusan politik negara.
Pacaran dengannya bukanlah pacaran seperti kebanyakan orang. Kita bertemu setahun tiga atau empat kali, itu juga setelah aku nunggu 2-3 hari untuk pertemuan selama lima belas menit di sela-sela meetingnya. Jika chatting jangan menunggu balasan dalam satu atau dua jam, baru membalas setelah beberapa hari adalah hal yang wajar bagi kita. Kalau bertemu, bukan soal apa makanan favoritmu yang kita bahas, melainkan kondisi hukum dan politik yang sedang hangat di negeri kita.
Entah apa yang membuatnya menggantung hubungan kita selama 3 tahun ini? Traumakah dengan pernikahan sebelumnya? Alasannya selalu saja pekerjaan. Memang pekerjaannya sangat padat. Bahkan tidak setiap weekend dia pulang menemui anaknya. Tapi bagiku tak masalah, kita sudah terbiasa dengan semuanya. Kita sudah sama-sama memaklumi kekurangan dan kelebihan kita masing-masing. Kita sudah sama-sama memaafkan kesalahan kita masing-masing—termasuk tidak menjemputku di pool bis Jakarta tengah malam tanpa konfirmasi atau dia memaafkan aku yang selalu bertanya tentang mantan istri. Yang perlu diselamatkan hanyalah Ade, putrimu, putri kita. Aku hanya merasa ikut bertanggung jawab pada perkembangan fisik dan mentalnya.
Tapi ya… terakhir kutanya tentang kepastian hubungan kita, dia cuma menjawab, “Aa tidak bisa berkata apa-apa, Aa hanya bisa diam.” So, what is to be done? Aku gak bisa menunggu lagi, aku harus melepaskannya, agar masing-masing kita tidak menjadi beban satu sama lainnya. Padahal aku sudah memenuhi permintaannya untuk segera lulus magister dan berhenti bekerja di pesantren.
Kalau ditanya rugi gak kehilangan Aa? Jawabannya, kalau sedih iya, kalau rugi tidak, karena aku udah belajar banyak hal darinya. Darinyalah aku bisa secanggih ini, hehehe…
Soal impian dan rencana hidup yang kacau. Jelas!! Sebelumnya, kita sudah bersepakat tentang dia yang berusaha mengurangi jam kerjanya, aku yang akan membantu mengurus lembaga pendidikan milik keluarganya, dia yang bisa membantu cita-citaku mendirikan sekolah sore, juga ini-itu lainnya. Tapi apa daya, “idealisme” kadang tidak sejalan dengan “realisme.”
Tidak ada kemarahan dan air mata saat putus darinya, yang ada hanya kesadaran bahwa usahaku sudah cukup optimal dan aku gak bisa memaksakan kehendakku, karena pacaran dan pernikahan itu adalah kesepakatan kedua belah pihak. Keduanya harus sejalan, jika tidak ya tidak baik jika dipaksakan. Entah apa yang dia sembunyikan dariku, aku hanya bisa berdoa semoga dia sehat dan mampu meraih semua cita-citanya. Makasih ya A….
Lalu apalagi?? I am mending ma broken heart and looking for someone else!! The best one yang mau jadi partner hidup dan bersama-sama meraih cita-cita!!
–Tamat–