Experiences Make You Stonger!!

Semalam salah seorang santriku curhat tentang rasa takutnya yang sangat besar. Dia ingin mencetak prestasi tapi takut melangkahkan kaki.. Dia ingin menjadi juara tapi tak mau ambil resiko. Maksud hati memeluk bulan apa daya tangan tak sampai. Ah, pribahasa tersebut tidak pas, tepatnya “maksud hati memetik mawar di halaman tetangga, apa daya takut tertusuk duri atau malu bilang sama yang punya, hehe…

Beberapa tahun menemaninya belajar cukup membuatku tahu kemampuannya. Dia sangat cerdas dan berbakat, hanya saja dia tidak mampu mengendalikan rasa takutnya. Itu saja…

Mendengar pengakuannya membuatku merasa déjà vu, yap dia  mengingatkanku pada sosok santri putri berseragam putih abu yang anggun 13 tahun yang lalu, dia bernama Lis Safitri 🙂  Santri yang anggun, tetapi cemen, hehehe…

WhatsApp Image 2018-04-25 at 15.21.25.jpeg

Double Cut: Sekuat Cut Nyak Dien

Betapa dulu aku adalah perempuan yang sangat penakut, sensitif, dan cemen. Sikap negatif ini lebih ke konflik diri bukan konflik dengan orang lain. Jadi sebenernya aku bukan pemalu, aku cukup berani tampil di hadapan publik. Hanya masalahnya sulit untuk mengendalikan emosi.

Masih ingat betul di tahun pertama pas jadwal Ujian Akhir Semester 1 tiba, aku nangis seharian di pojokan masjid karena takut menghadapi ujian. Padahal hari pertama mesantren dan jauh dari orang tua tidak membuatku sedih sama sekali. Menghadapi ujian di level pendidikan yang lebih tinggi, bersaing dengan teman-teman dengan kelas yang berbeda, juga menghadapi belasan mata pelajaran baru dengan pembagian waktu belajar yang lebih ketat membuat kepercayaan diriku hilang. Mampukah aku melaluinya? Aku takut kalau-kalau aku tidak mampu.

Seorang mantan pacar pernah berkomentar, “Teteh itu hidup seperti primadona yang selalu mendapatkan segala sesuatu dengan mudah.”

Aku mengamini ucapannya. Dari kecil aku memang jarang mendapat kesulitan. Keluargaku selalu mencukupi kebutuhanku (dalam arti positif). Aku jarang mengalami kesakitan dan kesulitan dalam hidup. Hidupku mulus-mulus saja, semuanya aku dapatkan dengan mudah.

Di satu sisi, hal ini membentukku menjadi pribadi yang sederhana, tidak menginginkan barang-barang yang sedang trendi atau hal-hal lain hanya karena orang lain juga memilikinya. Tetapi di sisi lain, berbagai kemudahan ini telah membentukku menjadi pribadi yang cemen, baperan, dan sering menyalahkan diri sendiri. Seingatku, aku memang jarang mendapatkan masalah. Sekalinya mendapat masalah (meski masalah sepele) aku akan stress dan sulit self-recovery-nya.

Masih kuingat waktu kelas 3 SMP dulu aku dimarahi habis-habisan oleh salah seorang guru bahasa Inggris sampe gak mau berangkat sekolah lagi. Ceritanya dulu aku dan beberapa orang teman dipercaya oleh guru Matematika untuk menjadi tutor sebaya, Jadi kalau guru gak masuk, kita yang mengajar teman-teman di kelas. Suatu hari temenku lain kelas lain pinjam buku catatanku untuk dia pakai peer-teaching di kelasnya. Beberapa saat aku ingat ada jawaban yang salah yang belum diperbaiki. Langsung saja aku lari ke kelas tersebut dan memberi tahu kesalahan tersebut pada temanku yang sedang nulis di papan tulis (saat itu masih menggunakan black board dan kapur). Tiba-tiba ibu guru bahasa Inggris itu menyalak dengan keras,

“Hei Lis, kamu jangan mentang-mentang siswa teladan ya bisa seenaknya bertindak! Ibu juga dulu dapat beasiswa kok, tapi gak pernah bertindak tidak sopan kayak kamu!”

Aku yang kaget dengan kejadian ini hanya melongo saja dan memandang ke temanku seraya bertanya, “Ada apa sih?”

Rupanya si ibu tadi sedang nagihin uang LKS dari siswa. Beliau berdiri di meja yang dekat dengan pintu dan dikerumuni  siswa. Aku yang panik masuk kelas tidak melihat keberadaan si ibu tersebut dan si ibu berkehendak supaya aku masuk kelas izin dulu sama beliau gitu, gak asal masuk-masuk aja. Aku pun minta maaf, tapi si ibu masih saja marah-marah, hehehe…

Dimarahi di depan teman-teman di kelas lain, juga digosipkan di ruang guru membuatku stress berat. Seharian itu aku menangis terus, besoknya aku sedikit demam dan tidak mau berangkat sekolah. Aku juga berharap bisa menghilang saja dulu untuk sesaat atau mengulang kejadian pagi itu, supaya tidak menimbulkan masalah. Aigooo….

a.jpg

Sehebat Ratu Elizabeth II

Seiring dengan berjalannya waktu masalah demi masalah selalu timbul dalam hidupku. Bahkan terkadang aku memusingkan hal-hal kecil yang tidak terlalu penting seperti perbedaan budaya. Pertama kali aku berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai daerah dengan berbagai suku dan latar belakang budaya saat kuliah S1. Sebenarnya aku mengalami shock dan stress juga termasuk hal-hal kecil semacam nada bicara.

Pernah dulu aku sakit dan tidak bisa berangkat kuliah. Ada temenku dari daerah Jatim bertanya dengan nada yang cukup tinggi, “Kenapa kamu gak kuliah?” Pikirku kenapa dia bertanya dengan nada seperti itu, seolah-olah aku gak ingin berangkat kuliah. Aku sakit hati coba, boro-boro dia nawarin segelas air hangat atau membantu membelikanku makanan, kok gitu sih nanyanya? Ya ampun!!! Belakangan aku baru paham bahwa mereka memang ngobrol dengan nada tinggi. Itu wajar, bukan berarti marah, hahahahaha…

Ternyata aku memang sangat sensitif dan cemen. Tetapi seiring dengan banyaknya masalah yang aku hadapi membuat sifat cemenku sedikit berkurang. Puncaknya saat masa pengabdian pasca lulusku di pesantren: aku disuruh jadi koordinator pembimbing alias ketua emak asuhnya para santri di pondok. Mengurus 500-an santri putri membuat hapeku tidak berhenti bordering. Setiap saat selalu saja ada orang tua yang complain mulai dari menu makan yang kurang diminati sampai urusan kurikulum pesantren. Belum lagi soal kiyai yang tidak selalu sepaham. Terkadang kita-kita ini seperti bola yang ditendang ke sana kemari untuk menyampaikan misi yang tidak bisa beliau-beliau sampaikan secara langsung.

Saat itu, masalah dari yang terkecil sampai yang terberat selalu datang menyapaku. Mereka datang di setiap detik, sehingga tidak memberiku ruang untuk kabur dari permasalahan. Mau gak mau aku harus menghadapinya, karena kalau gak dihadapi permasalahan tersebut akan terus melebar. Setelah berani menghadapi masalah-masalah kecil aku mulai bisa menghadapi masalah yang lebih besar. Terus saja begitu, sampai aku bisa mengendalikan emosiku dan tidak sensitif lagi.

“Aku ingin menjadi seperti Teteh, sangat kuat dan pemberani,” ucap santriku itu.

Hah, percayalah aku memang tidak secemen dulu, tapi tidak sekuat yang kamu bayangkankok. Aku masih cemen, tetapi ranahnya berbeda. Jika dulu cemen terhadap kejadian sehari-hari yang gak penting, sekarang cemennya terhadap “call for paper” hehehe… takut papernya ditolak bilang aja males nulis :v :v

Begitulah… perjalanan hidup akan membentuk kepribadian kita, pengalaman akan menentukan siapa diri kita, dan masalah-masalah akan menguatkan kaki kita. Hanya jangan lupa, masalah tersebut hanya akan berakibat positif jika kita mampu menghadapinya secara bijak. Jika tidak bijak, jangan harap akan membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik.

Tinggalkan komentar